Cerita Sex Menjual Senyum di Malam Hari

 

 

Cerita Sex Menjual Senyum di Malam Hari

Namaku Nadya. Saya lahir dari bunda yang sangat letih hidup serta bapak tiri yang sangat gampang naik tangan. Saya gak sempat ketahui siapa bapak kandungku. Yang saya ketahui, tiap malam saat sebelum tidur di rumah kayu yang lapuk itu, saya wajib pura- pura tidur lebih dulu… biar gak diajak“ main” sama ia.

Usia 3 belas, saya dibuang ke Panti Asuhan X, katanya supaya dapat hidup lebih layak. Sementara itu itu hanya tempat nyempil buat kanak- kanak yang gak dikira manusia. Di situ, saya berkembang bersama dekat 3 puluh anak lain, pria serta wanita, yang pula memiliki nasib mirip: dibuang, dibiarkan, ataupun ditelantarkan.

Tetapi saya beda. Saya putih bersih, rambutku lurus terurai, serta tubuhku… apalagi semenjak anak muda mulai membentuk. Saya ketahui saya menarik, walaupun gak sempat hasrat pamer. Tetapi itu malah buat saya dijauhi kanak- kanak wanita lain.

“ Muka lo sangat bersih buat tempat kotor seperti mari,” kata Winda, wanita sangat galak di panti, sesuatu malam sembari dorong saya ke tembok kamar mandi. Matanya merah, entah sebab iri ataupun baru habis isap lem.

Saya gak sempat bales. Saya diam. Tetapi saya nyimpen seluruh cedera itu.

Umur 6 belas. Malam itu, saya lagi sendiri di ruang mencuci balik. Pak Dani, salah satu pengurus panti, masuk dalam kondisi mabuk. Saya ingat jelas napasnya bau alkohol, matanya merah setan, serta tangannya langsung narik bajuku ke dasar.

“ Hanya sebentar, Nad… Om janji gak sakit.”

Saya dorong. Saya teriak. Tetapi gak terdapat yang denger. Seluruh anak udah tidur. Ia tekan mulutku gunakan tangan. Badanku kaku. Tetapi dalam hati saya melawan.

Saya nekat gigit tangannya hingga berdarah. Ia jerit. Saya tendang perutnya, kemudian kabur lari ke dapur serta ngunci diri di lemari dasar wastafel semalaman.

Semenjak itu, saya berganti. Saya mulai ngaca tiap malam. Saya pelajari tubuhku. Saya sadar, terdapat kekuatan yang dapat kugunakan buat bertahan.

Tetapi saya pula mulai khawatir.

Umur 8 belas, saya kabur. Tanpa pamit, tanpa duit, hanya membawa satu ransel kecil berisi baju ubah serta sabun cair sisa panti. Saya hanya pengen leluasa. Serta saya gak hirau ke mana kaki ini bakal membawa saya.

Di stasiun Senen, saya ketemu Lala—teman lama di panti yang lebih dahulu kabur 2 tahun kemudian. Ia gunakan lipstik tebal, rambut di- bleach, serta gunakan pakaian ketat banget. Tetapi matanya masih sama, masih Lala yang dahulu suka ngasih saya sisa permen.

“ Nad? Astaga… Edan lo kian cakep aja. Sendirian?”

Saya hanya angguk. Belum pernah jawab, ia langsung peluk serta bisik,“ Ingin kerja tidak? Uang banyak, gak pake ijazah. Mudah.”

Saya gak tanya banyak. Saya hanya turut. Letih hidup diatur, saat ini saya yang milih.

Lala membawa saya ke tempat karaoke di Jakarta. Dari luar nampak elegan, tetapi dari dalam penuh pria haus sentuhan. Saya mulai dari kasir. Duduk diam di balik meja, pantau tamu yang keluar- masuk, hitung duit.

Tetapi, katanya, wajahku“ sayang kalo hanya di balik meja”.

Malam- malam selanjutnya, saya dimohon duduk nemenin om- om. Gak wajib ngapa- ngapain, lumayan senyum, sapa, tuang minum. Bonusnya gede. Dapat setara 3 hari kerja biasa.

Awal mulanya saya tolak. Tetapi lambat- laun saya amati sendiri: yang menawan, yang dapat main kedudukan, hidupnya lebih lezat. Dapat makan lezat, gunakan parfum mahal, serta gak butuh khawatir digusur sebab gak bayar kos.

Lala hanya bilang satu kalimat

Saya ngerti artinya.

Serta malam itu, saya sepakat buat coba“ satu room” awal.

Room VIP no 7. Lala udah nunggu di luar sembari senyum sok tenang, tetapi matanya ngasih isyarat:“ Jangan sangat nurut, tetapi pula jangan sok suci.”

Saya masuk dengan lutut gemetar. Di dalam terdapat 3 pria umur 4 puluhan. Salah satunya langsung berdiri, nyodorin tangan.“ Namanya siapa, Neng?”

“ Nadya, Om…” jawabku lirih, nyaris gak terdengar.

Ia senyum sembari ngelus pundakku. Saya langsung ngerasa hawa tubuhnya beda. Panas, tajam, dan… kepunyaan.

Kupingku udah panas duluan, tetapi wajahku senantiasa coba sopan. Saya duduk di antara 2 dari mereka, botol- botol miras berjejer di meja. Musik pelan mengalun, AC dingin menusuk dada yang hanya ditutup dress tipis pinjaman dari Lala.

“ Gelas buat Nadya mana?” tanya om botak yang duduk sangat ujung.

Salah satu dari mereka langsung tuangin.“ Minum ya, supaya gak kaku,” katanya sembari nyengir.

Saya ambil gelasnya. Kutatap sebentar. Tanganku gemetar sedikit, tetapi kubilang dalam hati:“ Hanya minuman, Nadya. Habis ini kalian leluasa.”

Sehabis tegukan awal, badanku mulai hangat. Mereka ketawa, ngobrol soal politik serta proyek jalur tol. Saya hanya senyum- senyum manis serta angguk- angguk. Seketika satu tangan memegang pahaku di dasar meja.

Refleks, saya tegang. Tetapi gak kutolak. Ia naikkan tangan pelan, sampai memegang ujung dalam pahaku. Nafasku tertahan. Mataku melirik ke arah Lala yang barusan intip melalui gorden. Ia kasih kode: tenang.

“ Memek kalian udah basah ya?” bisik Om yang duduk sangat dekat sembari senyum miring.

Saya gak jawab. Tetapi jantungku deg- degan. Saya gak nyangka tubuhku dapat bereaksi.

Ia buka ritsleting celananya pelan. Kontol- nya langsung nongol, keras serta panas.“ Coba Nadya bantu Om ya. Ingin ketahui gimana lembutnya bibir kamu…”

Tangannya bimbing kepala saya turun. Napasku berat. Saya pernah ragu… tetapi ia pegang rambutku, kemudian desis,“ Pelan aja, sayang… Nanti dikasih bonus.”

Saya buka mulut. Kontol- nya mulai masuk ke bibirku. Baru setengah, saya telah dicekik rasa asing. Tetapi anehnya, tubuhku gak melawan. Saya nyusu kontol- nya pelan. Lidahku mulai menari. Saya belajar dari suara desahnya.

 

BACA JUGA : Cerita Dewasa Nostalgia Bersama Mantan

 

“ Pinter ya… Uh, Nadya… jago banget nyedot kontol Om…”

Tangan satunya mainin gunung cintaku dari balik dress. Putingku udah keras. Aku… mulai kurang ingat khawatir.

Gak lama, ia angkat tubuhku serta baringkan di kursi. Dressku disingkap. Daleman tipis warna ungu disingkirkan ke samping.“ Memek kalian manis banget…” katanya sembari jilat pelan.

Saya meringis. Tubuhku menggeliat. Saya gak sempat dijilat seperti gitu. Memek- ku dijilat sampe lembab serta gemetar. Saya udah kurang ingat rasa jijik, yang terdapat hanya panas serta nyut- nyutan di selangkangan.

Ia masukin 2 jarinya. Saya teriak pelan.

“ Memek- nya udah siap, Nadya… Siap digoyang ya?”

Ia buka celana seluruhnya, kemudian tumpangi tubuhku. Kontol- nya digesek di mulut memek- ku yang udah basah kuyup. Lalu… ia dorong masuk lama- lama. Saya menggigit bibir.

“ Aaaah… Om… pelan…”

Memek- ku semacam dirobek. Tetapi bertepatan, terdapat rasa kosong yang kesimpulannya terisi. Saya antara nangis serta terangsang.

Ia goyangkan badannya pelan. Plak… plak… plak… bunyi badan kami bergesekan penuhi room. Tanganku melingkar di lehernya. Suara desahku kian keras.

“ Memek kalian kecil banget… crott- nya dapat cepet nih…”

Sebagian menit setelah itu, ia ngebut. Gerakannya kian agresif. Rambutku ditarik, tubuhku dibejek. Hingga kesimpulannya, ia ngebentur dalam… serta crott.

“ Crott… aaaahh Nadya… mani Om crott di dalem…”

Tubuhku gemetar. Mataku basah.

Tetapi malam itu, saya gak merasa dituntut. Justru… saya merasa kokoh. Sebab kali ini, saya yang pegang kendali.

6 bulan sehabis malam itu, saya bukan lagi sang Nadya pendatang baru yang hanya dapat gugup di pojokan room.

Sekarang… saya duduk di VIP lounge, dengan dress merah beludru yang menempel sempurna di lekuk tubuhku, dikelilingi om- om berdasi, mata mereka haus tetapi penuh hormat. Saya bukan cuma pelayan nafsu—aku jadi fantasi hidup.

Lala sempat bilang,“ Di dunia malam, yang bertahan bukan yang sangat menawan. Tetapi yang sangat dapat mainkan rasa.”

Saya mengerti betul saat ini.

Saya ketahui kapan wajib tertawa kecil sembari memandang mata tamu. Saya ketahui kapan wajib pura- pura pilu sembari nyender di bahu. Saya ketahui kapan wajib bisik,

Serta mereka seluruh lumer.

Saya mulai memiliki pelanggan senantiasa. Apalagi salah satu pejabat wilayah hingga teratur booking saya seminggu sekali. Sempat pula ayahnya temenku waktu SMA, tiba diem- diem malam Jumat, pesen room sangat besar hanya buat berdua.

“ Saya suka liat kalian dari dahulu, tetapi gak bisa jadi ngapa- ngapain cocok kalian masih sekolah,” katanya sembari nyedot konterku di dalam kamar mandi. Saya cuma nyengir.

Malam itu, saya goyang di atasnya gunakan posisi penunggang setan. Memek- ku menelan kontol- nya pelan- pelan sembari saya gigit bibir. Ia hingga nangis, katanya gak sempat dilayanin seperti gitu apalagi sama istrinya sendiri.

Masing- masing kali ia crott, saya hanya bilang,

“ Terima kasih udah bantu Nadya bayar sewa kos bulan ini.”

Saya mulai kerap diajak keluar kota. Dapet jam tangan mahal, parfum asli, apalagi pernah ditawari mobil.

Tetapi dalam hati… kosong.

GAME ONLINE TERBAIK 

Saya udah gak yakin cinta. Saya belajar matikan hati. Saya apalagi dapat senyum ke pelanggan yang memohon dijilmek sembari matanya penuh air mata. Saya dapat jilat memek wanita sesama LC di depan tamu sembari senantiasa mikirin cicilan kos serta sisa duit nasi padang.

Tubuhku jadi perlengkapan. Tetapi saya yang pegang remote- nya.

Sesuatu malam, manajer karaoke tiba ke ruang ubah.

“ Nadya, terdapat tamu baru. Gak kaya, gak tua… tetapi memohon kalian. Bayarnya tunai, serta ia sopan banget.”

Saya penasaran. Umumnya tamu baru tentu sok nekat. Tetapi yang ini beda?

Saya masuk room, serta di situ duduk seseorang laki- laki muda. Usianya sangat 25. Kemeja apik, rambut gelap apik, kulit bersih. Ia berdiri serta kasih salam.

“ Terima kasih udah ingin temenin aku, Mbak Nadya.”

Mbak? Bukan“ sayang”, bukan“ beb”?

Saya hanya senyum tipis.“ Baru awal ke mari?”

Ia angguk. Malu- malu. Tangannya gemetar dikala menuang minuman buat saya. Tetapi matanya… tulus. Gak terdapat tatapan lapar semacam tamu- tamu lain.

Malam itu kami ngobrol panjang. Tentang hidup, trauma, panti asuhan, masa kecil. Saya cerita, serta ia dengerin. Beneran dengerin.

Seketika saya pengen dicium, bukan dipakai. Saya pengen dipeluk, bukan ditindih. Tubuhku bilang, ini beda.

Kesimpulannya saya bisik ke ia,“ Kalian ingin Nadya temani hingga pagi?”

Ia kaget.“ Enggak harus, Mbak. Saya hanya ingin ngobrol… sama orang yang dapat ngerti.”

Hatiku copot.

Tetapi saya juga… pengen ia. Malam itu, kesimpulannya saya yang tarik tangan ia. Kami ke hotel terdekat, serta saya buka bajuku satu- satu di depannya. Tetapi kali ini… gak terdapat kontol yang dituntut masuk ke memek. Ia hanya peluk saya. Kokoh, lama, hangat.

Sebagian jam setelah itu, kami memanglah“ main”. Tetapi gak semacam umumnya. Ia gak agresif. Ia masuk pelan, desah pelan. Kami silih amati mata. Ia cium tiap sudut tubuhku, tercantum cedera bakar kecil di dasar buah dada kiriku.

“ Saya suka seluruh bagian kalian, Nadya. Luka- lukanya pula.”

Malam itu, saya crott duluan. Tanganku gemetar, memek- ku kejang. Serta ia baru crott sehabis peluk saya erat, serta bilang:

“ Kalian bukan benda, Nadya. Kalian wanita yang layak dicintai.”

Saya yakin.

Buat awal kalinya… saya crott sebab cinta.

Cinta yang Terlambat& Pengkhianatan

Namanya Reyhan.

Sehabis malam itu, ia kerap tiba. Kadangkala seminggu 2 kali. Gak sempat memohon apa- apa, hanya ngobrol, duduk, peluk. Kadangkala ia cium pipiku pelan, kadangkala cuma mainin rambutku sembari bisik,

“ Jika boleh, saya pengen kalian menyudahi dari tempat ini…”

Saya hanya senyum. Dunia malam udah jadi rumah buatku. Tetapi dikala bersamanya, saya semacam anak panti 13 tahun yang ketemu peluk awal dari seorang yang gak haus tubuhku.

Reyhan gak sempat memohon saya nyedot kontol- nya. Gak sempat maksa masukin penis ke memek- ku sembari ngitung berapa ronde. Ia beda.

Saya mulai mikir, mungkin… ini cinta.

“ Jika kalian yang ajak saya keluar dari dunia ini, saya ingin, Rey,” kataku sesuatu malam sembari rebah di dadanya.

Ia peluk saya erat.

Malam itu kami nginap lagi. Di kamar hotel kecil, saya buka seluruh pakaianku tanpa rasa khawatir. Ia elus puting dengan lembut, jilat pelan gunung cintaku, hingga saya desah tanpa sadar.

“ Memek kalian menawan banget, Nadya… Gua panasnya hangat banget…”

Ia masuk pelan. Goyangannya bukan buat puas diri, tetapi buat manjain saya. Kami ngentot berdua semacam sejoli pacar. Saya goyang di atasnya, nahan nafas sembari rasakan kontol- nya ngisi penuh isi memek- ku.

Hingga akhirnya… saya crott sembari meluk lehernya.

“ Saya sayang kalian, Rey…”

Serta ia jawab:

“ Saya juga…”

Tetapi cinta di dunia ini… gak sempat murni.

2 pekan setelah itu, saya ditelepon salah satu LC.

“ Nad… video kalian sama laki- laki muda itu nyebar di tim bokep luar…”

Saya langsung beku.

Tanganku gemetar waktu buka link yang dikirim. Di situ, thumbnail- nya jelas. Saya. Telanjang. Duduk di atas Reyhan. Kamera dari sudut atas. Angle- nya sempurna, suara desahanku jelas. Apalagi terdapat watermark web bokep luar negara di pojoknya.

Dadaku sesak.

Kupelototi layar. Kian kejam, kian panas darahku. Bukan sebab saya telanjang, bukan sebab tumpahnya mani Reyhan terekam. Tetapi karena… seluruh itu nyatanya rekayasa.

Malam itu pula saya ke kos Reyhan.

Ia kaget amati saya timbul. Tetapi gak pernah pura- pura.

“ Lo jual video itu, ya?” tanyaku dengan suara tajam.

Ia panik.“ Enggak, Nad, aku—aku cuma… awal mulanya emang terdapat rencana, tetapi lambat- laun saya beneran sayang…”

Saya ketawa. Getir. Air mata keluar, tetapi tanganku gak gemetar. Saya tampar ia. Berulang kali.

“ Lo lebih hina dari om- om yang nyuruh saya nyepong sembari dicekik. Paling tidak mereka jujur. Lo enggak.”

Ia diam. Gak melawan. Bisa jadi sebab ketahui ia pantas diinjak.

Semenjak itu… saya berganti. rayuanjanda.com

Nadya yang dapat menangis waktu crott, saat ini gak memiliki air mata.

Saya main brutal. Main memek gunakan 3 jari. Nyusu kontol sembari tawa miring. Ngentot di kamar hotel sembari rekam balik tamunya.

“ Ingin memek- ku? Bayar. Ingin jilat? Tambah panduan. Ingin crott di mulut? Rekamanku dahulu, Bang…”

Saya jadi buas. Tetapi malah seperti itu wujud proteksi terakhir. Tubuhku senantiasa dijual, tetapi hatiku… gak dapat dibeli lagi.

Malam selanjutnya, saya masuk room dengan pelanggan lama—seseorang yang senantiasa gunakan topi serta masker. Kali ini ia memohon lampu diredupkan.

Tetapi dikala saya jongkok serta mulai buka celana panjangnya, ia bisik,

“ Kalian gak ingat suara Om, ya?”

Saya menyudahi. Tanganku menggantung di resleting celananya.

Saya memandang matanya. Napasku langsung terhenti.

Itu… Pak Dani. Pengurus panti dahulu. Yang sempat coba perkosa saya.

Tanganku gemetar, tetapi saya senyum. Saya peluk ia dari balik.

“ Om ingin saya panggil Nadya kecil… ataupun Nadya yang udah dapat ngelayanin om?”

Ia tertawa. Gak sadar, memek- ku udah gak memiliki rasa khawatir. Kontol- nya berdiri kaku, tetapi saya hanya mainin dengan satu tangan.

“ Tenang, Om… Saat ini gantian Nadya yang memiliki kuasa…”

Serta malam itu, saya servis ia dengan senyum lebar.

Tetapi dalam hati… saya menang.rayuanjanda.com

Hari- hariku saat ini sunyi… tetapi senantiasa bising di dalam dada.

Saya masih kerja. Masih gunakan lipstik merah darah, dress ketat belahan dada rendah, serta senyum yang dibuat- buat. Tetapi di balik itu seluruh, Nadya yang dulu… udah mati.

Bukan sebab trauma, tetapi sebab saya udah berakhir berharap.

Saya gak lagi nunggu cinta tiba dari laki- laki baik. Gak lagi cari dekapan yang hangat. Saat ini saya hanya jual satu perihal: mimpi. Mimpi kalau badan ini dapat mengobati. Kalau memek ini dapat jadi pelarian dari dunia yang beku.

Sementara itu seluruh itu hanya strategi.

Saya kerap bisa tamu pejabat, polisi, apalagi ustaz. Seluruhnya memohon dimanja. Memohon dijilat pelan, memek diisap sampe licin, kemudian ngentot hingga crott di 2 tempat sekalian.

Serta saya layani. Bukan sebab suka. Tetapi sebab kuasanya.

“ Om ingin crott di mana malam ini?” tanyaku sembari duduk telanjang di atas paha tamu, tangan mainin kontol- nya dengan lembut.

Masing- masing malam, suara desahan, nafas memburu, serta puting yang dijilat basah jadi latar hidupku.

Tetapi hatiku? Beku.

Gak terdapat rasa.rayuanjanda.com

Kadangkala, di sela waktu kosong, saya duduk sendiri di depan kaca kamar ubah. Tatap wajahku sendiri.

Menawan. Tetapi dingin.

Seksi. Tetapi gak memiliki hasrat.

Sempurna. Tetapi kosong.

Kadangkala saya iseng main memek sendiri. Colok gunakan 2 jari, jilat puting sendiri di depan kaca, tetapi gak sempat crott. Sebab yang dapat buat saya crott… udah saya bunuh di dalam hati.

Sesuatu malam, manajer karaoke ngajak saya ngobrol sungguh- sungguh.

“ Nad, banyak yang antri pengen eksklusif kalian. Ingin gak naik kelas? Jadi‘ komoditas tertutup’. Bayaran dobel. Kerjanya dikit. Tetapi wajib pilih- pilih tamu.”

Saya ketawa kecil.

“ Komoditas tertutup? Seperti benda lelang?”

Ia diam. Mikir.

Tetapi saya jawab pula.

“ Saya bukan benda. Tetapi jika bayarannya lumayan buat beli hidup baru… mengapa tidak?”

Malam itu saya layani tamu istimewa: bos jaringan hotel besar. Ia memohon dilayanin brutal. Diikat. Dijilmek di atas sofa. Disusuin kontol- nya hingga 2 kali crott, satu di wajah, satu di memek. Serta saya lakukan… sembari senyum.

Sehabis berakhir, ia bisik:

“ Nadya… kalian senyum sangat indah yang sempat saya beli.”

Saya jawab pelan:

“ Itu sebab Om beli senyum, bukan Nadya.”

Saya gak ketahui hingga kapan hendak bertahan di dunia ini. Tetapi saya ketahui satu perihal:

Di malam hari, orang- orang tiba bukan cari cinta. Mereka cari pengalihan. Serta Nadya… merupakan ilusi sangat indah yang dapat mereka bayar.

Siang saya tidur. Malam saya hidup.

Tubuhku masih dijual. Tetapi hatiku?

Udah mati semenjak awal kali saya bilang