Cerita Sex Kisah Intan yang Kesepian
Cerita Sex Kisah Intan yang Kesepian. Namaku Intan, seseorang perempuan berumur 28 tahun yang sudah menikah. Saya mempunyai badan yang kerap dipuji teman- temanku selaku proporsi sempurna, dengan besar 173 centimeter, berat 55 kilogram, kulit putih, serta penampilan yang mereka bilang mirip model. Banyak laki- laki yang berupaya menggodaku sebab fisikku, tetapi saya senantiasa berupaya melindungi batas.
Suamiku, seseorang pengusaha mapan berumur 30 tahun, lumayan tampan serta berpenghasilan lebih dari lumayan buat keluarga kami. Awal mulanya, kehidupan kami harmonis serta senang. Tetapi, belum lama ini, seluruhnya berganti. Dia terus menjadi padat jadwal dengan pekerjaannya, tidak sering kembali ke rumah, serta komunikasi kami juga mulai tersendat.
Sesuatu malam, dikala suamiku lagi dinas ke luar kota, saya berangkat clubbing bersama sahabat. Di situ, 2 laki- laki yang lumayan tampan mendekatiku. Mereka memperkenalkan diri selaku Deni
serta Andi. Umur mereka kayaknya lebih muda dariku, serta saya berpikir,“ Boleh pula nih, main sama cowok- cowok muda tentu seru.” Kesimpulannya, kami memutuskan buat melanjutkan malam itu di suatu hotel
Sesampainya di kamar hotel, saya kaget. 2 laki- laki lain, Joni serta Rendi, telah menunggu di situ. 4 orang sekalian? Saya pernah ragu, tetapi hasratku telah terlanjur membara. Deni
serta Andi
mulai mendekat, menciumku dengan penuh gairah. Joni serta Rendi tidak ingin ketinggalan; tangan mereka mulai menjelajahi tubuhku, meremas serta memainkan payudaraku. Saya merasakan gelombang birahi yang terus menjadi kokoh.
“ Wow, ini jackpot malam ini!” kata Rendi sembari memandangi tubuhku dengan penuh kekaguman.“ Santai, kita nikmati pelan- pelan supaya puas,” timpal Deni. Joni serta Rendi terus menjadi liar, memainkan putingku dengan lidah mereka, sedangkan saya cuma dapat mendesah,“ Ohh… enak…”
Deni
dengan kilat melepas rok serta baju dalamku.“ Wah, terpelihara banget ini,” ucapnya sembari mulai menjelajahi vaginaku dengan lidahnya. Saya mendesah terus menjadi keras, tubuhku bergetar menikmati tiap sentuhan. Cairan pelumas mengalir deras, ciri saya telah siap buat langkah selanjutnya.
“ Udah becek banget, gua duluan ya,” kata Deni
sembari memposisikan dirinya. Penisnya, walaupun tidak sangat besar, terasa begitu hidup dengan urat- urat yang menonjol serta ujung yang tebal.“ Ohh… kecil banget, lezat!” erangnya sembari mulai menggerakkan pinggulnya.
Sedangkan itu, Andi, Joni, serta Rendi pula tidak tinggal diam. Mereka melepas baju mereka, memperlihatkan badan yang atletis serta penis yang, walaupun rata- rata ukurannya, lumayan membuatku penasaran. Reza memintaku buat menjilati penisnya, sedangkan Andi
serta Joni memohon tanganku buat mengocok kepunyaan mereka. Saya merasa semacam terletak di pusat kenikmatan yang luar biasa.
Deni
mengganti posisiku, memintaku buat memeluknya dari atas. Saya menggoyangkan pinggulku, merasakan penisnya memegang tiap sudut sensitifku.“ Oh my God, lezat banget!” erangnya. Di dikala yang sama, Reza menyodorkan penisnya ke mulutku. Saya menghisapnya dengan penuh semangat, buatnya mengerang,“ Edan, sedotannya mantap banget!”
Seketika, saya merasakan suatu memegang lubang anusku. Terdapat cairan dingin—mungkin gel pelumas—yang membuatku sedikit kaget. Tidak lama, saya merasakan barang tumpul masuk lama- lama. Itu Andi. Dia menyudahi sejenak sehabis masuk, kemudian mulai menggerakkan pinggulnya dengan pelan. Saya tidak dapat berpikir jernih lagi. Tubuhku semacam diserbu dari seluruh arah—vagina, anus, serta mulutku penuh dengan kenikmatan.
“ Ehh… ohh…” Saya mendesah tidak terkontrol, hingga kesimpulannya orgasme pertamaku datang.“ Ia udah klimaks, tentu keenakan banget!” pendapat Reza sembari tersenyum.
10 menit lalu, Deni
menggapai klimaksnya. Saya merasakan cairan hangat mengalir di dalam vaginaku. Tidak lama, Reza pula memuncratkan spermanya di mulutku, membuatku sedikit tersedak sebab volumenya yang begitu banyak. Andi
BACA JUGA : Cerita Sex Salah Masuk Kamar
menyusul, mengisi anusku dengan cairannya. Saya merasakan aliran hangat dari kedua sisi tubuhku.
Tanpa memberiku waktu buat istirahat, Joni mengambil alih. Dia menggenjotku dari balik dengan penuh semangat. Saya kembali mendesah,“ Ohh… uhmm…” Kenikmatan itu membawaku ke orgasme kedua. Ketiga temannya cuma menyaksikan kali ini, seakan menikmati panorama alam.
Malam itu bersinambung sampai pagi. Mereka bergantian menikmatiku, serta saya juga larut dalam kenikmatan yang tidak sempat kurasakan lebih dahulu. Kami kesimpulannya tertidur sebab keletihan.
Pagi harinya, mereka mengantarku kembali. Kami tidak bertukar no telepon, tetapi saya tidak sangat memikirkannya. Masih banyak laki- laki lain di luar situ yang dapat kujelajahi. Rasanya, malam itu jadi titik dini petualangan seksualku yang terus menjadi liar. okewla.com
Sesuatu hari, suamiku wajib berangkat ke luar negara buat urusan bisnis, meninggalkanku sendirian sepanjang 2 pekan. Saya tidak sempat turut campur dengan urusan pekerjaannya, jadi hari- hariku kuhabiskan dengan jalan- jalan ke mal, berangkat ke salon, ataupun menjajaki kelas senam buat mengisi waktu.
Tetapi, kesepianku berganti ekstrem sebab suatu peristiwa tidak terduga yang mengaitkan supirku, Bobby. Hari itu, sehabis kembali dari kelas senam, saya tidak menyangka apa yang hendak terjalin. Semacam biasa, begitu datang di rumah, saya membuka pintu mobil serta langsung masuk, melangkah menaiki tangga melingkar mengarah kamar utama di lantai 2.
Di dalam kamar, saya melontarkan tas ke sofa dekat pintu serta mulai melepas baju senamku yang bercorak gelap, sampai cuma tinggal bra serta celana dalam. Dikala melintas di depan kaca meja rias, saya terhenti sejenak. Saya memandangi tubuhku sendiri—betis yang masih kencang, pinggul lebar berupa semacam gitar dengan pinggang kecil, serta bokong yang masih kencang menonjol. Saya menyamping, mencermati lekuk tubuhku, kemudian memandang buah dadaku yang masih terbungkus bra, nampak penuh serta padat.
Seketika, saya tersentak.“ Ouh, mengapa kalian di mari?!” seruku, kaget, dikala memandang bayangan kepala Bobby di kaca. Warnanya, dia berdiri di ambang pintu kamar yang kurang ingat kututup.“ Jangan amati! Keluar, kilat!” bentakku sembari buru- buru menutupi tubuhku. Tetapi, alih- alih bagi, Bobby malah melangkah masuk, mendekat dengan tatapan tajam.
“ Bobby, keluar saat ini!” bentakku lagi, mataku melotot marah.“ Silakan teriak sekuatnya, Bu. Hujan di luar hendak menutupi suara Bunda,” katanya dengan nada menantang. Saya melirik ke jendela di sampingku. Hujan memanglah turun deras, serta dedaunan di luar bergoyang diterpa angin. Kamar ini kedap suara, membuatku terus menjadi takut.
Langkah Bobby terus menjadi dekat, serta jantungku berdegup kencang. Saya mundur lama- lama, tetapi kaki kesimpulannya tersandung pinggir ranjang.“ Mas, jangan!” ucapku dengan suara gemetar. Seketika, Bobby menerjangku. Tubuhku terpental ke ranjang, serta dalam sekejap, badannya yang perkasa menindihku. Saya meronta, menendang serta mendorongnya dengan kedua tangan serta kakiku, tetapi tenagaku tidak sebanding. Dia kewalahan sejenak, tetapi kesimpulannya saya sukses membebaskan diri, berputar, serta merangkak menghindar.
Tetapi Bobby lebih kilat. Dia menarik celana dalamku sampai robek, membuatku terseret kembali ke pinggir ranjang. Saya terus merangkak, berupaya menghindar, tetapi dia menangkapku lagi. Seketika, saya merasakan beban berat di pinggulku, membuatku tidak dapat bergerak.“ Bobby, jangan… tolong!” isakku, air mata mulai mengalir.
Bobby seakan tidak mendengar. Dengan kilat, dia mengikat kedua tanganku ke balik dengan tali entah dari mana. Kemudian, dia menarik kakiku, mengikat pergelangan kakiku sampai saya tidak dapat bergerak leluasa.“ Saya mau mencicipi Bunda,” bisiknya di telingaku.“ Semenjak awal kali melamar jadi supir, saya telah membayangkan momen ini.” Napasnya terdengar memburu
“ Tetapi saya majikanmu, Ben!” protesku, berupaya mengingatkannya.“ Betul, Bu, tetapi itu dikala jam kerja. Saat ini telah jam 7 malam, saya leluasa tugas,” balasnya sembari melepas tali bra yang kukenakan. Saya merinding dikala dia mendengus di dekat telingaku, melepas pakaiannya sendiri, kemudian membalikkan tubuhku sampai saya telentang.
Saya dapat memandang badan atletisnya yang telanjang. Tidak lama, dia menarik kakiku sampai pahaku melekat pada perutku, kemudian mengikatnya lagi dengan tali. Dia menggendongku ke sudut ranjang, mendudukkanku di pangkuannya, semacam bapak memeluk anak wanita. Tangannya yang agresif mulai meraba pinggul, paha, serta bokongku, sedangkan tangan yang lain menahan pundakku sampai kepalaku bersandar di dadanya yang bidang. okewla.com
“ Bobby, tolong, jangan!” ucapku berulang- ulang, suaraku terbata- bata. Tetapi dia tidak hirau. Tangannya terus menjelajahi tubuhku, membuatku merinding. Dikala jemarinya memegang belahan pahaku, saya mengencang, merasakan sensasi semacam tersengat listrik.“ Ohh…” desisku tanpa sadar dikala jarinya mulai mengusap bibir vaginaku dengan lembut, naik- turun, sampai saya merasakan denyutan serta gatal yang tidak tertahankan.
Birahiku mulai naik, terlebih telah lama suamiku tidak menyentuhku. Entah gimana, bibirku seketika berjumpa dengan bibirnya. Kami berciuman penuh gairah, silih menjilat serta menghirup.“ Intan, wajahmu begitu menggoda,” bisiknya dengan nafas terengah. Kemudian, dia menarik tubuhku sampai buah dadaku terletak di depan mukanya. Mulutnya langsung memagut putingku, mengisap serta menggigit kecil, membuatku mendesah panjang,“ Ohh… Mas…”
Perasaanku campur aduk—takut, jengkel, tetapi terdapat kenikmatan yang tidak dapat kuingkari. Seketika, dia membebaskan tubuhku sampai saya terhempas ke ranjang. Tidak lama, mulutnya melumat bibir vaginaku dengan buas, membuatku menggelinjang serta mengerang keras.“ Bobby… cukup… ohh!” rintihku, tubuhku mengejang menahan sensasi geli serta nikmat yang luar biasa.
Jarinya mulai menjelajahi lorong vaginaku, mengeduk dengan lembut tetapi tentu.“ Tabah, sayang, saya suka sekali dengan badanmu,” gumamnya sembari terus menjilat. Sehabis puas, dia mendekat ke wajahku, meremas buah dadaku.“ Bu Intan, saya masuk saat ini, ya,” bisiknya. Saya cuma dapat memejamkan mata dikala kurasakan penisnya yang keras menekan masuk ke dalam vaginaku.
“ Aah… sakit!” jeritku, merasakan ngilu yang luar biasa. Tetapi dia bergerak pelan, seakan menikmati tiap gesekan. Gerakannya terus menjadi kilat, membuat tubuhku berguncang hebat. Seketika, kami bersama mengerang keras. Saya merasakan orgasme yang luar biasa, diiringi oleh Bobby yang terhempas di sampingku, napasnya tersengal.
“ Sialan kalian, Bob!” geramku, memecah kesunyian. Sehabis sebagian dikala, napasku mulai tenang.“ Kalian edan, Ben! Kalian memperkosa istri majikanmu!” kataku dengan nada jengkel.“ Gimana jika saya berbadan dua?” tanyaku lagi, takut.
“ Tenang, Bu. Saya telah mengombinasikan kapsul antihamil di air putih yang Bunda minum tiap pagi sepanjang 2 hari ini,” jawabnya dengan tenang. Saya kaget.“ Jadi, kalian telah merancang ini?!” bentakku. Dia cuma tersenyum.
“ Gimana, Bu? Tadi lezat, kan?” tanyanya sembari membelai rambutku. Wajahku memerah. Dalam hati, saya tidak dapat menyangkal kalau saya menikmati kenikmatan itu, apalagi merasakan orgasme 2 kali.“ Lepasin talinya, Ben!” gerutuku, tanganku telah pegal. okewla.com
“ Nanti dahulu, kita mandi dahulu,” katanya sembari menggendongku ke kamar mandi. Dia meletakkanku di lantai keramik di dasar pancuran shower, kemudian menyalakan air. Tubuhku basah, serta dia mulai menyikat tubuhku dengan sabun cair, dari pinggul sampai buah dadaku. Tangannya yang agresif terasa lembut dikala meremas putingku, membuatku kembali mendesah.
Sehabis memandikanku, dia menggendongku kembali ke ranjang, masih basah.“ Saya ambilkan santapan, ya,” katanya, kemudian berangkat dengan handuk melilit pinggangnya. Saya termenung. Telah lama saya tidak merasakan kehangatan semacam ini sebab suamiku yang senantiasa padat jadwal. Walaupun saya jengkel serta malu, terdapat perasaan lega yang susah kujelaskan.
Bobby kembali dengan nasi goreng serta segelas minuman favoritku.“ Supaya saya suapin, Bu,” katanya lembut. Saya mencicipi makanannya, serta nyatanya lumayan lezat.“ Kalian yang masak, Ben?” tanyaku.“ Iya, siapa lagi? Kan hanya kita di rumah,” jawabnya.
“ Bu, boleh saya panggil Mbak Intan? Supaya lebih akrab,” pintanya.“ Terserah,” jawabku.“ Jika gitu, panggil saya Bang Bobby, ya,” celetuknya. Saya cuma mengangguk, masih merasa campur aduk.
“ Masih kokoh, Mbak?” tanyanya dengan senyum bandel, tangannya kembali meraba tubuhku. Saya menunduk, tidak menanggapi. Dalam hati, saya ketahui saya tidak rela, tetapi kenikmatan tadi membuatku tidak dapat menolak seluruhnya. Malam itu, saya semacam kembali merasakan gairah yang sudah lama lenyap
