Cerita Sex Ku Berawal Dari Rasa Cinta

 

 

 

 

Cerita Sex Ku Berawal Dari Rasa Cinta

Namaku Lani. Umurku baru 9 belas. Banyak orang bilang saya masih muda, masih memiliki masa depan panjang. Tetapi dari kecil, saya gak sempat ngerasain yang namanya rumah. Orang tuaku wafat waktu saya masih balita, katanya musibah. Semenjak itu, hidupku pindah- pindah dari satu panti asuhan ke panti yang lain.

Saat ini, saya udah lulus SMA. Memiliki ijazah doang tidak lumayan, saya perlu kerja buat hidup. Makanya saya bersyukur banget waktu dapet kerja di suatu konterr HP kecil di pinggiran kota. Pemiliknya, Pak David, laki- laki paruh baya usia 42 tahun—tingginya dekat 175 centimeter, kulit agak hitam, serta senantiasa pake pakaian apik. Mukanya tidak sering senyum, tetapi tatapannya dalam dan… entahlah, kadangkala buat saya gugup sendiri.

“ Kerja aja yang bener, gak harus neko- neko. Saya gak suka anak manja,” katanya waktu awal kali nerima saya kerja.

Saya hanya angguk- angguk. Saya emang bukan anak manja. okewla.com

Konterr itu kecil tetapi ramai. Saya biasa tiba jam 9 pagi, kembali jam 6 sore. Kadangkala jika lagi ramai, dapat lebih malam. Tetapi saya gak sempat ngeluh. Saya udah terbiasa hidup sulit. Dibentak juga saya gak nangis, udah kerap dahulu waktu di panti.

Pak David kadangkala nampak galak, tetapi kerap pula diam- diam perhatiin saya dari balik rak. Jika saya lagi beresin etalase, ia berdiri di balik, nyodorin benda tanpa ngomong apa- apa. Dingin. Tetapi kian lama, terdapat yang aneh saya rasain. Perhatiannya pelan- pelan buat saya aman. Bukan aman semacam bapak ke anak, tapi… terdapat suatu yang saya gak dapat jelasin.

Sesuatu malam, konterr hening. Jam nyaris jam 8. Hujan turun dari sore, deras banget. Saya udah siap ingin kembali, tetapi gak membawa payung.

“ Kalian gak membawa mantel?” tanya Pak David.

Saya geleng.“ Gak sempet ambil di kos.”

Ia ngelirik keluar, kemudian bilang,“ Tunggu aja di dalam. Hujannya masih deras.”

Saya duduk lagi di sofa plastik, diem. Ia turut duduk, tetapi di meja kasir, sembari buka- buka pembukuan. Tetapi gak lama, ia matiin lampu display, kemudian ke balik serta balik membawa 2 gelas teh hangat.

“ Minum. Supaya gak masuk angin.”

Saya ambil pelan.“ Makasih, Pak.”

Ia duduk agak dekat kali ini. Hawa dingin, teh itu hangat, tetapi terdapat yang lebih hangat: atmosfer.

“ Kalian tinggal sendirian di kos?” tanyanya pelan.

“ Iya.”

“ Keluarga?”

“ Gak memiliki, Pak. Aku dari kecil di panti.”

Ia mengangguk pelan. Tetapi matanya gak lepas dari wajahku. Saya nunduk. Jantungku deg- degan sendiri, bukan sebab teh ataupun hujan. Tetapi sebab buat awal kalinya, saya sadar: tatapannya beda.

Kemudian ia angkat tanganku. Tangannya besar, agresif, hangat. Ia hanya megang sebentar. Tetapi waktu ia bilang,“ Kalian kokoh ya… anak sekuat ini tidak sering,” rasanya seperti terdapat yang meleleh di dadaku.

Saya gak ketahui mengapa. Tetapi malam itu, saya ngerasa seperti… ingin nurut apapun jika ia yang nyuruh.

Malam itu jadi dini dari suatu yang beda. Saya gak ngerti perasaan ini—aneh, asing, tetapi gak buat khawatir. Sehabis ia genggam tanganku, atmosfer sepi. Hanya suara hujan yang deras di luar. Tetapi di dalam, rasanya… hangat, deg- degan.

Tangannya lepas pelan. Tetapi tatapannya masih di saya.

“ Lani,” katanya pelan,“ jika kalian letih, ataupun perlu tempat pulang… kalian dapat ke mari. Saya ngerti kalian gak memiliki siapa- siapa.”

Saya angguk pelan. Saya nunduk. Tetapi dalam hati, kalimat itu seperti nyangkut di kerongkongan. Seperti saya pengen nangis. Sepanjang ini, gak terdapat yang bilang gitu ke saya. Seluruh orang hanya nyuruh saya kokoh. Tetapi dia… beda.

Sebagian hari sehabis itu, saya jadi lebih kerap dicermati. Kadangkala ia bawain saya makan pagi, kadangkala nyuruh saya rehat duluan. Tetapi tatapannya kian lama kian kerap buat saya salah tingkah. Tatapan tajam yang pelan- pelan jadi seperti ngelus tubuhku dari jauh.

Serta anehnya, saya gak nolak. rayuanjanda.com

Sesuatu sore, konterr hening banget. Ia lagi duduk ngerokok di balik. Saya beresin benda di rak. Waktu saya jongkok di lantai, nyusun dus- dus HP, ia dateng serta berdiri di belakangku.

“ Pelan- pelan, pakaian kalian kebuka,” katanya pelan.

Saya kaget, langsung berdiri serta nutup dada. Tetapi ia senyum dikit.“ Gak apa. Menawan kok.”

Saya gak dapat jawab. Pipi panas. Tetapi saya pula gak berangkat. Saya diam aja, sedangkan ia mendekat.

Tangan besarnya memegang rambutku. Kemudian turun ke pipi. Saya diam. Saya ngerasa jantungku seperti ingin copot.

“ Kalian sempat ngerasain disayang gak?” bisiknya.

Saya geleng.

“ Dipeluk?”

Geleng lagi.

Ia menarik saya pelan, masuk ke pelukannya. Gak erat, tetapi lumayan buat ngebuat saya leleh. Buat awal kali dalam hidupku… saya dipeluk oleh orang yang bukan penjaga panti, bukan temen sekamar. Tapi… lelaki.

Serta entah mengapa, saya gak nolak.

Pelukannya gak buru- buru. Tangannya gak langsung bandel. Tetapi saya dapat ngerasain napasnya di leherku. Hangat. Serta aku… gak dapat bohong, memek- ku mulai geli. Basah.

“ Lani…”

“ Iya, Pak…”

“ Boleh saya peluk kalian lebih lama?”

Saya angguk. Serta pelukannya jadi lebih erat.

Tangannya mulai naik turun di punggungku. Kadangkala menyudahi di pinggang. Kemudian ia mundur sedikit, memandang mataku.

“ Boleh saya cium kalian?” bisiknya.

Saya gak jawab. Tetapi saya pula gak berangkat. Jadi ia cium. Bibirnya agresif, tetapi gerakannya lembut. Serta jujur, saya gak pengen itu menyudahi.

Tangannya naik ke gunung cintaku, meremas pelan. Saya mendesah kecil. Itu awal kalinya payudaraku dijamah pria. Tetapi saya gak nolak. Malah pelukannya saya eratkan.

“ Masih dapat lanjut?” bisiknya.

Saya mengangguk lagi.

“ Saya dapat menyudahi jika kalian ingin.”

“ Tidak harus berhenti…”

Tangannya turun ke dasar. Ke pahaku. Kemudian masuk ke balik rokku. Jemarinya memegang memek- ku yang udah basah banget.

“ Lani… kalian siap ya?”

Saya hanya menutup mata serta mengangguk pelan. Napasku kilat. Saya udah gak tahan.

Jemarinya mulai main. Gak agresif, tetapi penuh pengalaman. Saya megap- megap. Gak sempat saya ngerasain seperti ini. Memek- ku basah banget, serta ia ketahui titik- titik mana yang buat saya gemetar. okewla.com

Saya menggigit bibir.“ Pak… aku… saya gak tahan…”

“ Tenang. Nikmatin aja…”

Tangannya gak menyudahi mainin memek- ku. Jemari Pak David lincah, penuh pengalaman. Saya berdiri gemetar sembari bersandar ke bilik balik konterr. Rokku udah melorot ke lutut, serta memek- ku basah banget, hingga celana dalamku lengket seperti tisu kena teh.

Desahanku kian berat.

“ Pak… uuhh… jangan berhenti…”

“ Pelan, Lani… rasain semua…”

Ia jongkok di depanku. Mukanya saat ini sejajar dengan pangkal pahaku. Saya berupaya jaga suara, khawatir terdapat orang melalui depan konterr, tetapi saya gak dapat nahan. Jemarinya nyibak celana dalamku, serta lidahnya langsung ngelelet ke memek- ku yang udah licin.

Saya terlonjak.“ Aaahh… Pak… itu… memek- ku…”

“ Manis banget,” katanya, saat sebelum kembali jilat memek tanpa henti.

Lidahnya muter, masuk ke sela memek, naik turun, kadangkala ke titik sangat sensitif yang buat lututku goyah. Saya gak sempat ketahui nyatanya tubuhku dapat begini. Saya hanya dapat pegangan ke rak etalase sembari nangis kecil. Bukan sebab sakit. Tetapi sebab sangat lezat.

“ Pak… Pak… saya mau… ingin crott…”

“ Crott di memek gak papa. Saya pengen rasain seluruh dari kalian.”

Tangannya gak menyudahi sembari ia jilmek. Jemarinya masuk ke dalam, lidahnya main di luar. Saya gak dapat tahan lagi.

“ AAHH… Aku… saya crott…”

Tubuhku gemetar hebat. Cairan hangat keluar dari memek- ku, serta Pak David hanya diem sembari senyum.

“ Kalian lezat banget, Lani. Memek kalian lembut… wangi…”

Saya masih gemetar waktu ia bangkit berdiri. Tangannya ngelepas sabuk, serta kontol- nya keluar.

Itu awal kalinya saya amati benda asli pria. Besar, tegang, berurat. Saya pernah mundur, khawatir. Tetapi ia hanya nyentuh rambutku pelan.

“ Coba, Lani. Kalian tentu dapat. Nyusu kontol gak susah…”

Saya menelan ludah, kemudian berlutut. Tangan gemetar waktu nyentuh kontol- nya. Panas. Berdenyut.

Saya buka bibir, serta pelan- pelan masukin ujung kontol itu ke mulutku. Rasa asin, agak getir, tetapi hangat. Saya mulai gerak pelan- pelan. Naik turun.

“ Bagus… kalian pintar…” katanya sembari elus kepalaku.

Saya kian dalam. Kian kilat. Suara nyusu kontol dari mulutku mulai kian kencang, basah serta berisik.

“ Lani… saya ingin crott… di mulut kamu…”okewla.com

Saya gak mundur. Malah saya pengen ngerasain. Serta gak lama setelah itu, cairan hangat menyemprot dari ujung kontol- nya. Mani crott di lidahku, banyak banget hingga saya hampir keselek.

Tetapi saya telan. Seluruhnya. Sebab malam itu, saya bukan hanya jadi karyawan konterr. Saya jadi kepunyaan Pak David.

Saya gak nyangka hidupku yang hampa dari kecil bakal berganti sedini ini. Gak terdapat cinta yang romantis. Gak terdapat janji indah. Tetapi saya rela. Bisa jadi** Sinonim**
Bisa jadi
Boleh jadi
Barangkali———-** Original**Mungkin sebab saya gak sempat ketahui rasanya dipunyai. Serta sekarang… saya jadi kepunyaan seorang. Utuh. Apalagi segala tubuhku juga.

 

Semenjak malam itu, seluruhnya berganti.

Saya senantiasa kerja semacam biasa, buka konterr jam 9, nutup jam 6. Tetapi tiap kali konterr hening, ataupun malam datang, Pak David kerap manggil saya ke ruang balik. Ruangan kecil tempat ia simpan stok barang… serta saat ini pula tempat ia mainin saya.

Awal mulanya saya masih malu, masih gemetaran waktu ia buka bajuku. Tetapi kian hari, tubuhku belajar sendiri. Belajar ngerespon sentuhan, ngerespon bisikan di kuping, dan… nyariin kontol ia.

“ Mari, Lani. Duduk di sofa itu, angkat rokmu…”

Saya patuh. Saya senantiasa patuh. Entah mengapa, saya merasa nyaman walaupun ia keras. Bisa jadi sebab saya gak sempat memiliki orang yang ngatur saya semacam ini. Gak terdapat yang memiliki hak atas tubuhku… hingga kesimpulannya ia tiba.

Ia berdiri di depanku, sembari buka celana pelan. Kontol- nya udah keras semenjak tadi. Saya buka mulut, siap nyusuin, tetapi ia geleng.

“ Saat ini, kalian duduk di meja. Kangkang. Saya ingin memek kalian dahulu.”

Saya nurut. Naik ke atas meja stok. Saya buka dalemanku sendiri. Duduk sembari memek ngangkang di depan ia.

Ia jongkok. Jilat memek- ku sembari sesekali masukin 2 jarinya. Saya udah gak tahan, memek- ku becek banget. Suaranya sampe pletak- pletok, seperti ketahui basah diaduk sendok.

“ Memek kalian kian lezat masing- masing hari,” katanya.

Saya hanya dapat mendesah.“ Aahh… Pak… crott lagi…”

Saya crott buat kedua kalinya siang itu. okewla.com

Kemudian ia berdiri. Angkat kedua kakiku ke bahunya, serta masukin kontol- nya ke dalam memek- ku.

Plak plak plak.

Saya menjerit pelan. Badanku goyang kena dorongannya. Ia masukin pelan dahulu, tetapi kian lama kian kilat.

“ Aaahh… Pak… dalem banget…”

“ Terima seluruhnya, Lani. Ini milikmu pula.”

Tangannya neken perutku, ngerasa ujung kontol- nya hingga dalam. Memek- ku mulai keram, tetapi rasanya nikmat. Tiap goyangan seperti buat tubuhku meledak kecil- kecilan.

Ia ganti posisi. Saya disuruh tengkurap di atas sofa, serta ia masuk dari balik, style anjing.

“ Posisi ini lezat, Lani. Kalian wajib biasa…”

Saya angguk. Suaraku hanya desahan.

Kontol- nya masuk kian dalam. Masing- masing dorongan buat punggungku melengkung. Saya sesekali nengok ke balik, serta panorama alam ia dengan badan besar, pegang pinggulku, sembari tabrak memek- ku… buat saya tambah liar.

“ Pak… crott… saya crott lagi…”

“ Saya pula, Lani…”

Ia tarik pelan, kemudian tumpahin mani di punggungku, panas serta banyak. Sebagian muncrat hingga ke leherku.

Saya rebah, lemas. Nafas ngos- ngosan. Tetapi hatiku… penuh.

Ia peluk dari balik.“ Kalian sekarang… milikku, Lani.”

“ Iya, Pak… memek ini hanya buat Bapak…”

Serta memanglah begitu terdapatnya.

 

Telah nyaris 2 bulan semenjak malam awal itu. Saat ini, saya bukan lagi Lani sang anak yatim yang hanya kerja di konterr HP. Saya adalah… kepunyaan Pak David.

Bukan hanya secara pekerjaan. Tetapi tubuhku, memek- ku, hatiku, seluruh udah jadi kepunyaan ia.

Awal mulanya saya pikir ini hanya sedangkan. Tetapi saat ini, masing- masing malam saya malah nungguin pesan darinya. Kadangkala saat sebelum tidur, saya buka chat hanya buat berharap ia nanya:

“ Kalian udah mandi? Siap saya susui kontol malam ini?”

Serta saya tentu jawab:

“ Memek udah bersih serta basah, Pak…”

Ikatan kami kian dalam. Saat ini saya gak butuh nunggu ia ngajak duluan. Saya yang mulai. Kadangkala cocok konterr rame, saya bisikin di telinganya:

“ Nanti malam saya memohon disusuin kontol ya, Pak…”

Serta ia hanya senyum kecil. Tetapi malamnya? Ia mainin saya hingga 3 ronde. Memek- ku disetel bolak- balik. Mulutku penuh kontol. Leher, dada, apalagi punggungku kerap jadi tempat crott mani.

Sempat sesuatu malam, saya yang memohon dijilmek dahulu. Saya rebahin diri sendiri di lantai gudang kontol, serta buka dalemanku sembari bilang:

“ Jilat memek- ku hingga saya crott, baru saya kasih Ayah masuk.”

Serta ia bagi. Bisa jadi sebab ia ketahui: Lani udah berganti. Saya bukan wanita pemalu yang dahulu.

Saat ini, tiap kali saya liat wajahku di kaca, saya tahu… saya bukan wanita polos. Saya bukan anak panti tanpa arah. Saya merupakan perempuan berusia.

Serta saya memiliki satu orang yang buat saya jadi semacam ini: Pak David. Lelaki paruh baya yang ngajarin saya apa itu rasa kepunyaan, rasa nikmat, serta rasa disayangi.

Ia bukan suami. Tetapi ia lebih dari itu.

Serta saya percaya, ini belum akhir cerita kami. Sebab masing- masing malam, tubuhku terus memohon, terus haus, terus basah.

Saya duduk di meja kasir semacam biasa, gunakan kaus putih ketat serta rok pendek. Tetapi sekarang… bukan hanya jadi karyawan. Saya merupakan benda individu kepunyaan Pak David.

Ia udah bilang sendiri, langsung ke mataku, waktu kami di gudang balik 2 pekan kemudian.“ Kalian bukan semata- mata anak konterr. Kalian milikku. Tetapi saya gak ingin memiliki anak dari kalian. Kalian cuma buat dinikmati… dipakai, dirawat, tetapi gak butuh diisi.”

Kalimat itu aneh. Tetapi anehnya lagi… saya nerima.

Entah mengapa, saya gak merasa direndahkan. Malah saya ngerasa istimewa. Kayak… saya ini barang berharga. Bukan buat disia- siain. Tetapi buat ditaruh serta dihabiskan dengan nikmat, tanpa sisa.

Serta saat ini, saya udah terbiasa. Dipanggil ke gudang siang hari buat nyusuin kontol. Disuruh gunakan lingerie tipis dalam lemari balik. Kadangkala saya hanya berdiri aja, memek dibuka, serta ia hirup puting sembari kerjain laporan stok.

Saya udah terbiasa seperti gitu.

Tetapi hari ini beda.

Pagi tadi, Pak David nyuruh saya mandi lebih dini. Disuruh pake parfum yang ia seleksi sendiri—bau vanilla lembut, yang katanya“ buat memek kalian kian mengundang.”

“ Terdapat tamu siang ini. Pelanggan lama. Ia suka HP, tetapi suka yang lain juga…”

Saya diem aja waktu ia bilang gitu. Tetapi saya ketahui arah perkataannya. Ini bukan hanya soal jualan HP.

Serta bener aja. Jam separuh 2, tiba laki- laki usia 50- an. Gendut, berkacamata, membawa map. Gunakan batik longgar serta kalung akik besar. Namanya Pak Dirman. Dahulu katanya owner toko elektronik yang langganan beli stok di konterr ini.

Waktu awal amati saya, matanya langsung nyasar ke dada. Saya senyum sopan, tetapi saya ketahui ia udah ngiler.

“ Nah, ini Lani,” kata Pak David sembari tepuk pundakku.“ Dapat bantu kamu… dengan metode lain.”

Saya diem. Tetapi gak keluhan. Sebab saya ketahui kedudukan baruku saat ini.

Kami bertiga duduk di ruang balik. Pak Dirman mulai ngobrol soal stok HP, tetapi matanya terus curi pandang ke pahaku. Saya pura- pura gak ketahui, sementara itu saya duduk dengan terencana agak ngangkang.

Sehabis ciri tangan serta seluruh urusan berakhir, Pak David ngomong pelan ke ia.

“ Ingin tambah bonus, Pak? Yang satu ini manis banget. Nurut total.”

Pak Dirman ngangguk kilat. Matanya berbinar.

Pak David hanya senyum serta ngangguk ke saya.

Saya mengerti artinya.

Saya berdiri, pelan- pelan buka kancing atas pakaian. Pak Dirman mendekat, tangannya langsung ngeremas gunung cintaku tanpa izin. Tetapi saya diam. Gak melawan. Saya perkenankan ia ngelakuin apa aja yang ia ingin.

“ Masya Allah… memek- nya lembut banget,” desahnya.

Saya melirik Pak David. Ia duduk sembari ngopi, senyum tipis. Serta saya tahu… ini wujud pembuktianku. Jika saya udah jadi kepunyaan ia seutuhnya—bahkan jika tubuhku dipinjamkan ke orang lain… saya hendak senantiasa nurut.

Sehabis itu, saya mulai lebih kerap dipanggil buat menemani tamu- tamu Pak David. Kadangkala saya disuruh duduk di pangkuan mereka, kadangkala cuma semata- mata menemani sembari nyusu kontol pelan- pelan di balik meja. Saya gak sempat merasa betul- betul leluasa, tetapi anehnya, saya pula gak sempat merasa terpaksa.

Pak Dirman itu salah satu pelanggan setia yang kerap mampir. Awal mulanya saya khawatir, tetapi lambat- laun saya belajar gimana triknya membuat ia bahagia tanpa wajib melawan. Saya belajar membuka rok serta membiarkan tangannya menyusuri pahaku, memegang memek yang telah basah oleh keinginanku sendiri.

Ia suka jika saya pasang ekspresi malu serta senyum manis dikala ia mulai main memek. Suaraku pelan, nyaris semacam desahan, tetapi saya ketahui itu yang mereka mau. Pak David senantiasa berdiri di samping, mencermati dengan tatapan dingin tetapi penuh kontrol.

“ Lani, jangan kurang ingat senyum. Ini pekerjaan pula,” katanya sesuatu kali.

Saya ketahui saya wajib nurut. Saya pula ketahui saya gak memiliki opsi lain. Tetapi saya mulai merasa terdapat suatu yang aneh di dalam diriku. Saya bukan hanya melayani, saya semacam berganti jadi seorang yang mencari nikmat dalam kepatuhan.

Sore itu, Pak Dirman menarikku ke ruang kecil di balik. Lampu remang, bau parfum vanilla bercampur keringat. Saya duduk di sofa kayu, rok serta dalaman telah saya buka lama- lama.

Tangannya langsung memegang gunung cintaku, meremas lembut. Saya mendesah pelan. Kemudian ia membisikkan suatu di telingaku.

“ Kalian anak baik, Lani. Nanti saya traktir kalian makan di luar.”

Saya tersenyum walaupun dalam hati saya merasa kosong. Tetapi saya senantiasa melayani, membiarkan ia nyusu kontol serta bermain dengan tubuhku.

Pak David yang berdiri di pintu cuma tersenyum tipis. Ia tidak butuh turut campur. Ini bagian dari konvensi kami—aku kepunyaan ia, tetapi kadangkala pula kepunyaan tamunya.

Hari- hari lalu serta saya terus menjadi terbiasa dengan kedudukan baruku. Kadangkala saya sendiri yang memohon, apalagi saya mulai mencari- cari peluang buat melayani tamu Pak David, walaupun hatiku ketahui kalau saya senantiasa kepunyaan Pak David.

Sore itu, Pak David memanggilku ke ruang balik konterr. Ia duduk dengan wajah sungguh- sungguh, tetapi matanya senantiasa penuh hasrat.“ Lani, kalian telah sangat nurut. Saya bangga sama kalian,” katanya pelan.

Saya hanya tersenyum, menunduk.“ Terima kasih, Pak.”

Ia mengambil tanganku, mengangkatnya ke bibirnya, serta mencium lembut.“ Tetapi ingat, saya mau kalian senantiasa sehat. Saya gak ingin kalian berbadan dua. Saya hanya ingin nikmatin kalian.”

Saya mengangguk. Kata- katanya itu semacam doa serta perintah sekalian. Saya telah siap menyerahkan seluruhnya.

Kemudian hari itu, saya disuruh melayani seseorang pelanggan setia lain, Pak Joko. Ia laki- laki bertubuh perkasa, serta kerap membeli HP dengan jumlah banyak. Tetapi malam itu, saya tidak cuma melayani dagangannya.

Pak Joko memandangi saya dengan nafsu. Ia membimbing tanganku memegang konternya yang telah tegang. Saya mulai mengerti, ini bukan cuma soal saya serta Pak David, tetapi tentang gimana saya wajib jadi perlengkapan kenikmatan.

Saya duduk di pangkuannya, mulutku mulai melaksanakan nyusu kontol yang saya pelajari dengan Pak David. Suara desahan pelan keluar dari bibirku. Pak Joko tersenyum puas, serta saya merasa aneh—antara malu serta geli.

Sehabis itu, Pak David tiba, tersenyum serta membiarkan saya melanjutkan. Ia mengatakan,“ Ini bisnis, Lani. Kalian bagian berarti. Tetapi ingat, kalian wajib jaga dirimu, jangan hingga terdapat peristiwa yang buat saya repot.”

Saya paham artinya. Saya wajib taat serta melindungi diri, tetapi senantiasa melayani dengan sepenuh hati.

Pak David terus menjadi kerap mengajakku berlatih posisi baru dikala kami berdua di ruang balik konterr. Ia mau saya betul- betul jadi miliknya, serta ia mau saya ketahui metode memuaskan dirinya serta pelanggannya tanpa resiko berbadan dua.

Sesuatu malam, sehabis konterr tutup, ia mengajakku duduk di sofa kayu besar.“ Lani, saya mau kalian belajar posisi ini,” katanya sembari menampilkan gerakan yang membuat saya sedikit gugup tetapi penasaran.

Ia membimbing saya dengan tabah. Saya mulai belajar gimana mengendalikan tubuhku, gimana membiasakan gerak serta napasku cocok arahan ia. Saya terbaring, ia masuk dari balik dengan posisi yang ia sebut“ anal”—posisi favoritnya yang membuat kami berdua bisa nikmat optimal tanpa resiko.

Tiap dorongannya terasa dalam serta penuh tenaga, tetapi ia senantiasa mencermati ekspresi wajahku, membenarkan saya tidak kesakitan.“ Kalian hebat, Lani,” katanya.“ Nikmati seluruh ini, jangan khawatir.”

Saya pelan- pelan membiarkan diriku larut. Desahanku terus menjadi keras, napasku kian kilat. Tubuhku mulai gemetar, serta saya merasakan crott yang lagi- lagi membuatku lemas tetapi puas.

Sehabis itu, ia menggendong saya ke kursi, mensterilkan tubuhku dengan lembut serta mengelus rambutku.“ Kalian milikku, Lani. Tetapi saya gak ingin kalian berbadan dua. Jadi, jangan khawatir jika saya panggil kalian kapan saja,” bisiknya.

Saya cuma dapat mengangguk, rasa puas serta jalinan yang terus menjadi kokoh antara kami membuat saya kian nurut.

Waktu terus berjalan, serta saya terus menjadi tenggelam dalam dunia yang kubangun bersama Pak David. Saya bukan lagi wanita polos yang dulu—aku telah jadi miliknya seluruhnya.

Tiap malam saya menunggu perintahnya, siap buat disusuin kontol, disuruh melayani pelanggan, ataupun cuma dipeluk hangat di ruang balik.

Ia sempat bilang,“ Lani, kalian gak butuh khawatir. Saya gak ingin kalian berbadan dua. Saya hanya ingin nikmatin kalian, memiliki kalian seluruhnya.”

Serta saya yakin. Saya nurut. Saya pasrah. Saya telah siap jadi miliknya kapan saja, buat apa saja.

Sesuatu malam, sehabis konterr tutup, saya duduk di pangkuannya. Tangannya lembut membelai rambutku, bibirnya mencium pelipisku.

“ Saya memiliki rencana lain buat kalian, Lani,” katanya pelan,“ kalian hendak jadi milikku bukan hanya di mari, tetapi di mana juga saya ingin.”

Saya memandang matanya, penuh janji serta ketundukan. Saya cuma dapat mengangguk pelan. Saya siap. Saya memanglah telah miliknya seluruhnya.

Saya masih ingat betul hari itu, dikala Pak David mengajakku naik mobil mewahnya bersama 3 laki- laki lain—teman- temannya yang katanya pelanggan setia konterr. Mereka seluruh laki- laki paruh baya, badan besar, bau parfum mahal, serta tatapan yang membuatku gemetar.

Kami hingga di suatu hotel bintang 5 yang megah.“ Kalian gak hendak keluar dari mari sepanjang seminggu,” kata Pak David pelan tetapi tegas.“ Kalian hanya hendak buat kami nikmati, Lani.”

Saya hanya dapat menelan ludah. Gak terdapat opsi, hanya nurut.

Kamar hotel itu luas, tempat tidur king size empuk, serta segalanya terasa semacam penjara elegan. Saya ketahui saya bukan tamu biasa—aku merupakan benda kepunyaan mereka. Mereka bergiliran memahami tubuhku siang serta malam, tanpa sela waktu.

Hari awal, saya masih merasa kaku serta khawatir. Tetapi terus menjadi lama, saya mulai mengerti gimana metode mengalami tangan- tangan agresif yang meraba memek- ku, gimana membiasakan nafas serta suara desahan supaya mereka puas.

Saya pelan- pelan mulai menyerah, membiarkan diriku dipunyai tanpa ketentuan.

Hari- hari di hotel itu lalu tanpa henti. Saya nyaris tidak mengidentifikasi tubuhku sendiri. Tiap pagi, saya dibangunkan oleh sentuhan agresif tangan Pak David serta sahabatnya. Mereka bergiliran mengambilku, satu demi satu, tanpa ampun.

Saya yang dahulu pemalu serta khawatir saat ini berganti jadi wujud yang nurut total. Memek- ku senantiasa basah, tidak sempat kering, sebab selalu mereka mainkan. Kadangkala saya dituntut buat melayani kontol mereka dengan mulutku, sedangkan yang lain menunggu giliran.

Malam hari, saya rebah letih di ranjang besar, tetapi itu tidak membuat mereka menyudahi. Apalagi dikala saya nyaris tidak sanggup lagi, mereka senantiasa memahami tubuhku, menembus sampai dalam dengan kekuatan yang membuatku gemetar.

Suara desahanku bercampur dengan suara gemuruh nafsu mereka. Saya mulai belajar menikmati, walaupun tubuhku terus meneriakkan sakit serta letih.

Hari- hari lalu, serta saya mulai merasa tubuhku bukan lagi milikku sendiri. Saya terjebak dalam bundaran nafsu yang tidak terdapat habisnya. Tiap pagi, tubuhku dijamah, memek ku senantiasa basah, serta mulutku terus dipakai buat nyusu kontol mereka yang haus.

Mereka tidak sempat letih. Kadangkala saya terbuat terbaring dengan posisi yang membuatku gemetar. Tangan- tangan besar itu memegang serta menyusuri tiap inci kulitku. Saya hanya dapat menutup mata serta mendesah pelan, membiarkan seluruh berjalan.

Sesuatu kali, dikala seseorang dari mereka mulai memasukkan kontol dengan gerakan pelan tetapi tentu, saya merasa campur aduk antara sakit serta nikmat. Saya menggigit bibir supaya suara desah ku tidak sangat keras. Saya ketahui, saya wajib nurut serta ikuti arahan mereka.

“ Mari, Lani… jangan khawatir. Kalian dapat,” kata Pak David dengan suara lembut tetapi penuh kendali.

Saya mengangguk, walaupun hati kecilku masih berontak. Tetapi tubuhku telah sangat letih buat melawan. Saya membiarkan diriku larut dalam alunan nafsu mereka yang tidak terbendung.

Seminggu di hotel itu membuat saya terus menjadi tenggelam. Tubuhku kian kerap dituntut, disiksa dengan nikmat oleh Pak David serta sahabatnya. Kadangkala saya merasa lenyap kendali, hanya dapat pasrah serta nurut.

Mereka memiliki metode baru tiap hari—posisi baru, sentuhan baru, serta bisikan yang buat saya kian lemah. Kadangkala mereka suruh saya nyusu kontol dengan lebih kilat, kadangkala disuruh menahan hingga saya gemetar. Saya mulai kehabisan rasa malu, serta yang tersisa cuma suara desah serta nafas berat.

Malam terakhir, mereka mengelilingiku di kamar, bergiliran membuat saya crott berulang kali. Pak David berdiri di tengah, tersenyum penuh puas, sedangkan sahabatnya tertawa serta menikmati pertunjukan.

Saya rebah lemas, tetapi di dalam, saya ketahui saya kian jadi kepunyaan mereka. Bukan cuma tubuhku, tetapi segala jiwa serta ragaku.

Hari terakhir di hotel itu tiba dengan kombinasi letih serta penyerahan total. Saya bukan lagi wanita polos yang dahulu, tetapi telah jadi kepunyaan Pak David serta sahabatnya seluruhnya— badan serta jiwaku terikat dalam dunia nafsu yang tidak sempat menyudahi.

Pak David berdiri di sampingku, matanya penuh kepuasan.“ Lani, kalian saat ini milikku seutuhnya. Saya gak hendak lepasin kalian, serta kalian gak butuh khawatir. Kalian milikku selama- lamanya.”

Saya cuma dapat mengangguk, air mata mengalir lama- lama di pipiku. Saya telah menyerah seluruhnya, siap buat dipunyai serta dinikmati kapan saja.

Malam itu, saya rebah di pelukannya, tubuhku letih tetapi hatiku tenang. Saya kepunyaan Pak David— seluruhnya, buat selama- lamanya.

 

Bersambung